Jumat, 19 Agustus 2011

Sudah puasakah mata telinga dan hati kita ?

Diposting oleh Rozaliha di 08.21 3 komentar
Puasa merupakan sebuah kewajiban bagi setiap umat Islam yang beriman. Jika kita melihat kewajiban ini ada sebuah praktik sosial yang berbeda dalam menjalani kewajiban ini. Sehingga dapat kita lihat, ibadah puasa yang dilakukan belum mempunyai nilai sosial yang lebih dari ibadah puasa tersebut. Karena pemahaman terhadapat arti puasa belumlah begitu sempurna.

Kata puasa yang berasal dari bahasa Arab, yaitu kata shoma, yashumu, shouman, secara etimologi mengandung arti menahan. Namun secara terminologi, puasa mengandung arti yang lebih dalam, yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari menurut syarat dan rukun tertentu.

Dalam artian secara terminologi di atas, puasa lazimnya tidak hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum saja. Lebih dari itu, puasa mengandung arti menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa, lebih kurang 14 jam selama satu hari penuh menjelang berbuka pada waktu maghrib. Bukan hanya makan dan minum serta bersetubuh saja, tapi segala sesatu yang membatalkan puasa.

Ramadhan yang setiap tahunnya datang kepada kita dengan izin Allah subhanahu wata’ala seharusnya telah mengantarkan kita kepada ketaqwaan haqiqi yang merupakan tujuan dan target dari disyariatkan puasa di dalamnya. Yaitu berupa kemampuan dalam mengerjakan perintah-perintah Allah subhanahu wata’ala dan meninggalkan larangan-larangan-Nya secara maksimal yang dapat menjadi faktor terbesar menghambat dan meredam kemurkaan Allah subhanahu wata’ala.

Ramadhan yang tidak pernah absen dari tahun-ketahun, yang telah kita jalani sampai saat ini seharusnya telah mengantarkan kita menjadi pribadi-pribadi yang muttaqin, sehingga semua yang menjadi karekteristik al muttaqin telah ada pada diri-diri kita, karakteristik yang mulia seperti yang dijelaskan dalam banyak ayat-Nya.

Imam Al-Ghazali membagi tingkatan orang yang berpuasa menjadi 3 tingkatan, yaitu :

1.Tingkatan pertama puasa orang awwam.
Pada tingkatan puasa orang awwam ini, puasa diartikan oleh seseorang hanyalah menahan diri dari makan dan minum serta tidak bersetubuh bagi suami istri pada siang hari saja. Namun segala sikap, perkataan dan gerak geri yang dilakukannya selama berpuasa masih belum dipuasakannya. Tidak heran, di puasa masih sering terjadi perbuatan-perbuatan yang kurang terpuji, seperti mengunjing orang lain, berkata bohong, korupsi, dan yang lain.

2. Tingkatan kedua puasa orang khusus.
Pada tingkatan puasa yang kedua ini, lebih tinggi dari tingkatan pertama. Karena orang yang berpuasa pada tingkatan kedua ini tidak hanya mempuasakan diri pada tataran menahan makan dan minum serta bersetubuh bagi pasangan suami istri sahaja. Akan tetapi, jauh dari itu mereka juga mempuasakan panca indera mereka. Baik itu mata, telinga, tangan, kaki, hidung dan indera yang lain. Dia berusaha untuk tidah berkata bohong, melihat kemaksiatan, tidak meng-ghibah (gosip) dan yang lainnya, yang dapat mengurangi nilai dari ibadah puasa mereka.

3. Tingkatan ketiga puasa orang khusus bil khusus.
Puasa pada tingkatan ini merupakan tingkatan puasa tertinggi yaitu orang yang berpuasa senantiasa untuk mempuasakan hatinya. Tidak terbersit sekalipun di dalam hati orang yang berpuasa pada tingkatan yang ketiga ini untuk melakukan sesuatu yang membatalkan puasanya, baik makan, minum, bersetubuh, panca indera dan niat-niat yang tercela. Dia senantiasa menjaga niatnya agar selalu mengingat Allah SWT.
Dari ketiga tingkatan (class) di atas, kita semestinya bisa mengoreksi dan mengevaluasi ibadah puasa yang kita lakukan. Apakah pada tingkatan pertama, kedua atau ketiga ?. Apabila puasa kita pada tingkatan pertama kita harus lebih berusaha untuk meningkatkan kualitas ibadah puasa yang kita lakukan. Sehingga menjadi lebih baik pada tingkatan kedua, dan tingkatan yang tertinggi. Sehingga kita merasakan manisnya Iman dan Islam dari ibadah yang dialakukan.

Jangan sampai ibadah puasa yang kita lakukan hanya mendapatkan lapar dan dahaga sahaja. Karena Allah SWT senantiasa melihat kesungguhan orang-orang mau memperbaiki dirinya. Dan Allah SWT akan membalas segala proses yang kita lakukan : “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya Dia akan (membalas)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya”. (Q.S. 99: 7-8).

Buah Ramadhan bukan hanya mampu meredam murka Allah subhanahu wata’ala tapi juga dapat mendatangkan keberkahan untuk negri kita ini jika buah tersebut betul-betul telah dimililiki dan diraih oleh semua penduduk negri ini, sebagaimana janji Allah subhanahu wata’ala, artinya,

"Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. al-'Araf: 96).

Demikian, mudah-mudahan uraian yang singkat ini dapat menggugah hati kita dan membuat kita semakin semangat untuk memperbaiki serta meningkat kan amal sholeh kita sehingga dapat menjadi peredam murka dan sekaligus pembawa berkah ilahi.

Di ambil dari berbagai sumber.


Got My Cursor @ 123Cursors.com
 

Rozaliha Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal