Minggu, 05 Juli 2015

Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan

Diposting oleh Rozaliha di 20.31


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang kurun waktu dengan objek permasalahan hidup didunia, telah melahirkan berbagai macam pandangan. Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan yang lain hanya bersifat saling kuat-menguatkan, tapi tidak jarang pula yang berbeda atau berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pendekatan yang di pakai oleh mereka berbeda, walaupun untuk objek permasalahannya sama. Karena perbedaan dalam sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan menjadi berbeda pula, bahkan tidak sedikit yang saling berlawanan. Selain iu faktor zaman dan pandangan hidup yang melatar belakangi mereka, serta tempat di mana mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Menyimak kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan filsafat sebagaimana yang telah di uraikan dalam bab pertama, akan menjadi jelas adanya perbedaan tersebut diatas. Begitu pula halnya dengan filsafat pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan bebagai pandangan atau aliran. Karena pemikiran filsafat yang tidak pernah mandeg.
Untuk mengetahui perkembangan pemikiran dunia filsafat pendidikan, di bawah ini akan diuraikan garis-garis besar aliran-aliran filsafat dalam pendidikan.   
B.     Rumusan Masalah
Apa saja aliran-aliran filsafat pendidikan Islam dan bagaimana isi dari aliran-aliran pendidikan tersebut?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mengetahui aliran-aliran filsafat pendidikan untuk dijadikan sebagai pengetahuan.




BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
1.      Filsafat analistik
Filsafat analitik tidak mengetengahkan dan membahas proposisi-proposisi subtantif ataupun persoalan-persoalan factual dan normative tentang pendidikan. Filsafat pendiidkan analitik menganalisis serta menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education), dan sebagainya. Serta mengecam dan mengklarifikasi berbagai slogan pendidikan seperti “Ajarlah anak-anak dan bukan mata pelajaran “ (Teach children, no subject). Alat-alat yang digunakan oleh filsafat analitik untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan linguistic serta teknik-teknik analisis yang berbeda antara seorang filusuf dan filusuf lain.
2.      Progrevisme
Progrevisme berpendapat bahwa pendidikan bukan sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak didik, melainkan melatih kemampuan dan ketrampilan berfikir dengan memberi rangsangan yang tepat. Jhon Dewey (tokoh pragmatisme), yang termasuk dalam golongan progretivisme, menyatakan bahwa sekolah adalah institusi sosial dan pendiidkan itu sendiri adalah suatu proses sosial. Selnjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of living), bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih diutamakan, bukan subject-oriented.
3.      Eksistensialisme
Eksistensialisme menyatakan bahwa yang menjadi tujuan utaa pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagiaman menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh si anak didik, tetapi yang lebih penting ialah apa yang mampu mereka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialis menolak pendidikan dengan indoktrinasi.

4.      Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme terutama merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaisans sivilisasi modern. Para pendidik rekostruksionalis melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai “problem-centered”, pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George S. Count: “Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru?[1]
5.      Empirisme
Penganut empirisme berpendapat bahwa pengalamann merupakan sumber pengetahuan bagi manusia. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiiki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu. Andaikan penggambaran sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan belaka.
Jhon Locke (1632-1704), salah seorang penganut empirisme yang juga bapak empirisme mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan akalnya masih bersih, ibarat kertas kosong yang belum bertuliskan apa pun (tabula rasa). Pengetahuan baru muncul ketika indrawi manusia menimba pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan. Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman indrawi. Seluruh sisa pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang diperoleh dari pengindraan srta refleksi yang pertama dan sederhana.
Filsafat pendiidkan yang berbasis pada empirisme telah menciptakan satu aliran empirisme pendiidkan yang berpandangan bahwa dasar-dasar pendiidkan harus digali dari pengalaman manusia sehingga segala hal yang diberikan kepada manusia sesuai perjalanan kehidupannya yang nyata. Pendidikan bukan pelajaran idealism yang mengajarkan sesuatu yang “semu”, tanpa bukti yang pasti. Pengalaman manusia memiliki kebenaran yang pasti dan dapat dirasionalisasi sesuai dengan daya ingat pemilik pengalaman, antara subyek dan obyek, pendidikan akan terjadi saling memberi informasi karena pendidikan tidak akan dinamis apabila tidak ada dua unsur penting, yaitu memberi dan menerima.[2]


6.      Idealisme
Arti fasafi dari kata idealisme ditentukan lebih bnyak oleh dari kata ide daripada ideal. W.E Hocking, seorang idealis mengtakan bahwa kata idea-ism lbih tepat digunakan daripada idealism. Secara ringkas idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran akal (mind) atau jiwa dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebgai hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi. Sebaiknya  materialisme mengatakan bahwa materi itulah hal yang rill atau yang nayat. Adapun akal (mind) hanyalah fenomena yang menyertainya. Idealisme mengatakan bahwa akal itulah yang  rill dan materi hanyalah merupakan produk sampingan. Dengan demikian, idealisme mengadung pengingkaran bahwa dunia ini pada dasarnya sebagai sebuah mesin besar yang harus ditafsirkan sebagai materi, mekanisme atau kekuatan saja.
Alam, bagi orang idealis mempunyai arti dan maksud yang dianta aspek-aspeknya adalah perkembanagn manusia. Oleh karena itulah seorang idealis akan berpendapat bahwa, terdapat suatu harmoni yang dalam arti maksud manusia dengan alam. Apa yang “tertinggi dalam jiwa” juga merupakan “uang terdalam dalam alam”. Manuisa merasa ada dalam rumahnya dalam alam, ia bukanlah orang atau makhluk ciptaan nasib, olej karena alam ini adalah suatu sistem yang logis dan spiritual, dan hal itu tercermin dalam usaha  manusia untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jiwa (self) bukanya satuan yang terasing atau tidak rill, jiwa adalah bagian yang sebenarnya dari proses alam. Proses ini dalam tingkat yang tinggi menunjukan dirinya sebagai aktifis, akal, jiwa, atau perorangan. Manuisa sebagai suatu bagian dari alam menunjukan struktur alam dalam kehidupan sendiri.
Jenis-jenis idealisme
Sejarah idealisme cukup berliku-liku dan meluas karena mencangkup sebagai berbagai teori yang berlainan walaupun berkaitan. Namun demikian, dalam kesempatan ini akan membahas pembahasan utama, yaitu idealisme Hogel, kiranya ada baiknya terlebih dahulu sedikit menyinggung idealisme subjetif, idealisme onjektif dan personalisme, walaupun bhaasan hanya singkat dan sikals saja serta tidak memberikan kepuasan dari segi pengelompokanya.

1)      Idealisme subjektif – immaterialisme
Idealisme jenis ini kadang-kadang dikatakan mentalisme dan fenomalisme. Seorang idealis subjektif akan mengatakan bahwa akal, jiwa dan persepsi-persepsinya, atau ide-idenya merupakan egala yang ada, akan tetapi ada dalam akal yang mempersepsikanya. Idealisme subjektif ini diawali oleh Berkeley yang lebih suka menamai filsafatnya dengan nama immaterialisme.
2)      Idealime objektif
Filsuf idealis yang perama kali dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua bagian, pertama dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia yang konkret ini adalah temporal dan rusak, bukan dunia yng sesungguhnya, melainkan sebagai bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat alam diatas alam benda, yaitu alam konsep, idea, universal atau esensi yang abadi.
Kelompok idealis objektivitas modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercangkup dalam suatu tata tertib yang meliputi segala sesuatu. Mereka pun menisbahkan kesatuan tersebut kepada ide dan maksud dari suatu akal yang mutlak (absolut mind). Hogel yang akan dibicarakan secara khusus memaparkan satu dari sistem-sistem yang terbaik dari idealisme monistik atau mutlak (absolute). Pikiran adalah esensi dari alam, dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobjektifkan.
3)      Personalisme atau idealisme personal
Personaisme muncul sebagi protes terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis, realits dasar itu bukanlah pemikiran yang bastrak taua proses pemikiran yang khusus, akan tetapi sesorang, suatu jiwa atau sesorang pemikir.
7.      Positifisme
Posifisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang didasarkan fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Kata filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itu, pulalah positifisme menolak cabang filsafat metafisik. Menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanyalah menyelidikifakta-fakta hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filasafat ialah mengordinasikan ilmu-ilmu pengetahuanyang beraneka ragam coraknya. Tentu saja, maksud positifisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh emprisme. Positifisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja, berbeda dengan empirisme inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanya mengandalkan fakta-fakta belaka.[3]
8.      Naturalisme
Sebelum kita memasuki pembicaraan tentang materalisme, terlebih dahulu kita akan lihat naturalisme secar sepintas. Pembicaraan naturalisme menjadi penting, karena meterialisme  merupakan bentuk dari naturalisme. Kata nature atau alam yang dipakai dalam filsafat bukan hanya terbatas pada alam lautan, gunung dan kehidupan liar. Akantetapi, tercakup didalamnya alam, astronomi yang mengcangkup bagian-bagian yang luas dari ruang dan waktu, dari fisika dan kimia, serta anlisanya yang mugkin bersifat atom atau sub atom. Dalam perspektif ini, kehidupan manusia mungkin tampak sebagai suatu perincian, akan tetapi,  kata alam tidak merupakan kebalikan dari manusia, karya-karyanya serta kebudayaan. Alam mencangkup semua itu dalam suatu sistem fenomena yag satu serta tidak terbagi-bagi.
Naturalisme adalah teori yang menerima natura sebagai keseluruhan realitas. Sitilah natura telah terpakai dalam filsafat dengan macam-macam arti, dari dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia, samapai kepada sistem total dari fenomena-fenomena ruang dan waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains dan alam. Istilah naturalisme adalah sebaiknya istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan dualistik terhadap alam yang adanya kekuatan atau ada (wujud) diatas dan diluar alam. Materialisme adalah sesuatu istilah yang sempit dan merupakan bentuk naturalisme yang lebih terbats, materialisme pada umunya ,engatakan bahwa ini tidak ada selain materi, atau nature  (alam), dan dunia fisik adalah satu.
9.      Materialisme
Istilah materialisme dapat diberi definisi dengan beberapa cara diantaranya. Pertama meterialisme adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendir dan bergerak merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan kesadaran (conciousness) termasuk didalamnya segala proses pisikal merupakn mode materi tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua, bahwa doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains condong untuk menyajikan bentuk meterialisme yang lebih tradisional. Pada akhir-akhir ini, doktrin tersebut dijelaskan sebagai energisme yang mengembalikan segala sesuatu kepada bentuk energi, atau sebagai suatu bentuk dari positivisme yang memberi tekana untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang paling tinggi).
Meterialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) itu merupakan kesatuan material yang tak terbatas alam, termasuk didalamnya segala materi dan energi (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan bahwa alam (world) adalah realitas yang keras , dapat disentuh, material, objektif yang dapat diketahui oleh manuisa. Materialisme modern mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa (self), dan dunia material adalah yang pertama, sedangkan pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua. [4]
10.  Pragmatisme
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagi benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Liran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikan, patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hiup praktis”.
Di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat sendiri dengan melekatnya nama William James sebagai tokohnya, disamping John Dewey. Di Inggris pragmatisme berhubungan erat dengan nama F.C Schiller. Selain itu dikenal juga nama-nama lainya, seperti Charles S. Pierce (1839-1914) dan George Herbert Mead (1863-1931).[5]
11.  Esensialisme
Esensialisme merupakan falsafah pendidikan tradisional yang memandang bahwa nilai-nilai pendidikan hendaknya bertumpu pada nilai-nilai yang jelas dan tahan lama sehingga menimbulkan kestabilan dan arah yang jelas pula. Nilai-nilai humanissme yang dipegangi oleh esensialisme di jadikan sebagai tumpuhan hidup untuk menentang kehidupan yang materialistik sekuler dan saintifik yang gersang dari nilai-nilai kemanusiaan. Gerakan esensialisme modern sebenarnya berkembang pada awal abad ke 20, dan muncul sebagai jawaban atas aliran progrresivisme.
Seperti halnya perenialisme mengambil sikap regressive road to culture, esensialisme meletakan dasar-dasar pemikiranya pada kebudayaan dan falsafah yang korelatif setelah timbulnya renaissance. Puncak refleksi dari gagasan ini paroh kedua dari abad ke-19. Esensialisme pada mulanya muncul sebagai reaksi terhadap simbiolisme mutlak dan dogmatisme Abad Pertengahan. Maka, para esensialis menyusun konsepsi secara sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta yang dapat memenuhi tuntutan zaman modern.
Dalam hubunganya dengan pendidikan, esensialisme menekankan dengan pendidikan, esensialime menekankan pada tujuan pewarissan nilai-nilai kultural-historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang akumulatif dan terbukti dapat bertahan lama setai bernilai untuk diketahui oleh skill, sikap, dan nilai-nilaiyang tepat, yang merupakan bagian esensial dari unsur-unsur pendidikan.
Kurikulum dipusatkan pada penguasaan materi pelajaran (subject-centered), dan karenanya fokus pendidikan selama masa sekolah dasar adalah keterampilan membaca, menulis, dan berhitung; sementara pada sekolah menengah hal tersebut diperluas dengan memasukan pelajaran matematika, sains, humainora, bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap materi kurikulum ini dianggap sebagai fondasi yang esensial bagi keutuhan pendidikan secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidup. Asumsinya adalah bahwa dengan pendidikan yang ketat terhadap disiplin ilmu ini akan dapat membantu mengembangkan intelek siswa dan pada saat yang sama akan menjadikannya sadar terhadap lingkungan dunia fisiknya. Menguasai dasar konsep dan fakta dari disiplin ilmu yang esensial merupakan suatu keharusan.
Guru, dalam proses pendidikan, dipandang sebagai center for exelence, karena dituntut untuk menguasai bidang studi dan sebagai model atau figur yang amat diteladani bagi siswa. Guru harus menguasai materi pengetahuannya, sebab mereka dianggap memegang posisi tertinggi dalam pendidikan. Ruang kelas ada dalam pengaruh dan kendali guru sepenuhnya. Sekolah, melalui upaya guru, berperan untuk melestarikan dan mentrasmisikan budaya dan sejarah melalui pengetahuan dan hikmah. Masing-masing pelajar dalam sekolah ini akan mempelajari ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk membuatnya berjasa bagi masyarakatnya.[6]
12.  Perenialisme
Perenialisme mengambil jalan regresif karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan kain kecuali kembali kepada prinsip umum yanng telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaan-kepercayaan aksiomatis mengenai pengetahuan, realitas, dan nilai zaman tersebut.
Perenealisme dapat dikenali dengan mudah karena memiliki kekhasan, diantaranya adalah: pertama, bahwa perenealisme mengambil jalan regersif, yaitu kembalikepada nilai dan prinsip dasar yang menjiwai pendidikan pad masa Yunani Kuno dan Abda Pertengahan. Kedua, perenialisme beranggapan bahwa realita itu mengandung tujuan; ketiga, perenialisme beranggapan bahwa belajar adalah latihan dan disiplin mental; dan keempat, perenialisme beranggapan bahwa kenyataan tertinggi itu berada di balik alam, penuh kedamaian, dan transendental.
Anteseden munculya perenelisme adalah adanya situasi sosio-kultural yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Ini menimbulkan suatu kesimpulan bahwa sistem yang ada pada waktu itu harus dibenahi, dan jalan untuk membenahinya adalah kembali kepada nilai dan prinsip umum yang adapada masa Yunani Kuno adalh prinsip yang telah dibuat oleh filosof pada masa tersebut, yaitu antara lain Plato (427-347SM) dan Aristoteles (483-322SM). Sedagkanyang dimaksud denngan nilai dan prinsip umum pada Abad Pertengahan adalah nilai dan prinsip yang telah dibuat oleh para filosof masa tersebut, antara lain Thomas Aquinas (1225-1274M) dna lain-lain, yang telah terbukti dapat menimbulkan zaman renaisance dan auf klarung atau pencerahan .
Dengan memerhatikan pengertian dan latar belakang timbulnya perenialisme tersebut dapat kita pahami bahwa pada dasarnya aliran ini berasal dari pemikiran orangn-orang Eropa yang bersaha untuk mencari jawaban akibat banyaknya ketimpangan, kekacauan, kebingungan, serta berbagai problematika lainnya. Mereka menganggap bahwa ide umum yang terkandung dalam pemikiran filsuf zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan itu adalah memiliki nilai yang ideal dan masih tetap relevan untuk menjawab persoalan masa kini
Dalam hal pendidikan, perenialisme memandang bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh dan merealisasikan kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal dan konstan. Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dan disiplin mental. Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum yang berpusat pada materi (content based, subject-centered) dan mengutamakan disiplin ilmu sastra, matematika, bahasa, humaniora, sejarah, dan lain-lain.[7]




BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
            Dalam filsafat pendidikan terdapat 15 aliran-aliran filsafat pendidikan, namun pembahasan yang telah dipaparkan diatas terdapat 11 aliran-aliran pendidikan, diantaranya ialah:
1.      Analitik
2.      Progresivsme
3.      Eksistensialisme
4.      Rekonstruksionisme
5.      Empirisme
6.      Idealisme
7.      Positifisme
8.      Naturalisme
9.      Materialisme
10.  Pragmatism
11.  Perenialisme
12.  Konferegensi
Dari ke sebelas aliran-aliran filsafat pendidikan, masing-masih mempunyai penjelasan tersendiri, aliran satu dengan lainnya tidaklah sama, meskipun ada yang sama, namun hanya ada sedikit kemiripan.




DAFTAR PUSTAKA

Rapar, Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
S.Praja, Juhaya. 2005. Aliran-aliran filsafat dan Etika. Jakarta: Kencana
Salahudin, Anas. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia
Assegaf, Abd Rachman. 2011.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada


[1] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 83
[2] Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), hlm. 83-89
[3]Juhaya S.Praja. Aliran-aliran filsafat dan Etika. ( Jakarta: Kencana. 2005), hlm 126-134
[4]Ibid., hlm 143-144
[5]Ibid.,hlm. 171
[6] Abd. Rachman Assegaf, filsafat pendidikan islam, (jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2011)Hlm.191-192
[7] Ibid. Hlm. 193-195

0 komentar on "Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan"

Posting Komentar


Got My Cursor @ 123Cursors.com
 

Rozaliha Copyright © 2009 Paper Girl is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal