BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam proses pertumbuhannya, filsafat sebagai hasil
pemikiran para ahli filsafat atau para filosof sepanjang kurun waktu dengan
objek permasalahan hidup didunia, telah melahirkan berbagai macam pandangan.
Pandangan-pandangan para filosof itu, ada kalanya satu dengan yang lain hanya
bersifat saling kuat-menguatkan, tapi tidak jarang pula yang berbeda atau
berlawanan. Hal ini antara lain disebabkan oleh pendekatan yang di pakai oleh
mereka berbeda, walaupun untuk objek permasalahannya sama. Karena perbedaan dalam
sistem pendekatan itu, maka kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan menjadi
berbeda pula, bahkan tidak sedikit yang saling berlawanan. Selain iu faktor
zaman dan pandangan hidup yang melatar belakangi mereka, serta tempat di mana
mereka bermukim juga ikut mewarnai pemikiran mereka.
Menyimak kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan
filsafat sebagaimana yang telah di uraikan dalam bab pertama, akan menjadi
jelas adanya perbedaan tersebut diatas. Begitu pula halnya dengan filsafat
pendidikan, bahwa dalam sejarahnya telah melahirkan bebagai pandangan atau
aliran. Karena pemikiran filsafat yang tidak pernah mandeg.
Untuk mengetahui perkembangan pemikiran dunia filsafat
pendidikan, di bawah ini akan diuraikan garis-garis besar aliran-aliran
filsafat dalam pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
Apa
saja aliran-aliran filsafat pendidikan Islam dan bagaimana isi dari
aliran-aliran pendidikan tersebut?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa
mengetahui aliran-aliran filsafat pendidikan untuk dijadikan sebagai
pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
ALIRAN-ALIRAN FILSAFAT PENDIDIKAN
1.
Filsafat
analistik
Filsafat analitik tidak mengetengahkan dan membahas
proposisi-proposisi subtantif ataupun persoalan-persoalan factual dan normative
tentang pendidikan. Filsafat pendiidkan analitik menganalisis serta menguraikan
istilah-istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan (education), dan sebagainya. Serta
mengecam dan mengklarifikasi berbagai slogan pendidikan seperti “Ajarlah
anak-anak dan bukan mata pelajaran “ (Teach
children, no subject). Alat-alat yang digunakan oleh filsafat analitik
untuk melaksanakan tugasnya adalah logika dan linguistic serta teknik-teknik
analisis yang berbeda antara seorang filusuf dan filusuf lain.
2.
Progrevisme
Progrevisme berpendapat bahwa pendidikan bukan
sekedar mentransfer pengetahuan kepada anak didik, melainkan melatih kemampuan
dan ketrampilan berfikir dengan memberi rangsangan yang tepat. Jhon Dewey
(tokoh pragmatisme), yang termasuk dalam golongan progretivisme, menyatakan
bahwa sekolah adalah institusi sosial
dan pendiidkan itu sendiri adalah suatu proses
sosial. Selnjutnya, pendidikan adalah proses
kehidupan (process of living),
bukan sebagai persiapan untuk masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan
itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus lebih diutamakan, bukan
subject-oriented.
3.
Eksistensialisme
Eksistensialisme menyatakan bahwa yang menjadi
tujuan utaa pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagiaman
menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka, melainkan agar dapat
mengalami secara penuh eksistensi mereka. Para pendidik eksistensialis akan
mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan
diketahui oleh si anak didik, tetapi yang lebih penting ialah apa yang mampu
mereka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialis menolak pendidikan
dengan indoktrinasi.
4.
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme terutama merupakan reformasi
sosial yang menghendaki renaisans sivilisasi modern. Para pendidik
rekostruksionalis melihat bahwa pendidikan dan reformasi sosial itu
sesungguhnya sama. Mereka memandang kurikulum sebagai “problem-centered”, pendidikan pun harus menjawab pertanyaan George
S. Count: “Beranikah sekolah-sekolah membangun suatu orde sosial baru?[1]
5.
Empirisme
Penganut empirisme berpendapat bahwa pengalamann
merupakan sumber pengetahuan bagi manusia. Tanpa pengalaman, rasio tidak
memiiki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu. Andaikan penggambaran
sedemikian rupa, tanpa pengalaman, hanyalah khayalan belaka.
Jhon Locke (1632-1704), salah seorang penganut
empirisme yang juga bapak empirisme mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam
keadaan akalnya masih bersih, ibarat kertas kosong yang belum bertuliskan apa
pun (tabula rasa). Pengetahuan baru muncul ketika indrawi manusia menimba
pengalaman dengan cara melihat dan mengamati berbagai kejadian dalam kehidupan.
Kertas tersebut mulai bertuliskan berbagai pengalaman indrawi. Seluruh sisa
pengetahuan diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide yang
diperoleh dari pengindraan srta refleksi yang pertama dan sederhana.
Filsafat pendiidkan yang berbasis pada empirisme
telah menciptakan satu aliran empirisme pendiidkan yang berpandangan bahwa
dasar-dasar pendiidkan harus digali dari pengalaman manusia sehingga segala hal
yang diberikan kepada manusia sesuai perjalanan kehidupannya yang nyata.
Pendidikan bukan pelajaran idealism yang mengajarkan sesuatu yang “semu”, tanpa
bukti yang pasti. Pengalaman manusia memiliki kebenaran yang pasti dan dapat
dirasionalisasi sesuai dengan daya ingat pemilik pengalaman, antara subyek dan
obyek, pendidikan akan terjadi saling memberi informasi karena pendidikan tidak
akan dinamis apabila tidak ada dua unsur penting, yaitu memberi dan menerima.[2]
6.
Idealisme
Arti fasafi dari kata idealisme ditentukan lebih bnyak oleh dari kata ide daripada
ideal. W.E Hocking, seorang idealis mengtakan bahwa kata idea-ism lbih tepat digunakan daripada idealism. Secara ringkas
idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran akal
(mind) atau jiwa dan bukan benda
material dan kekuatan. Idealisme menekankan
mind sebgai hal yang lebih dahulu (primer) daripada materi. Sebaiknya materialisme mengatakan bahwa materi itulah
hal yang rill atau yang nayat. Adapun akal (mind) hanyalah fenomena yang
menyertainya. Idealisme mengatakan bahwa akal itulah yang rill dan materi hanyalah merupakan produk
sampingan. Dengan demikian, idealisme mengadung pengingkaran bahwa dunia ini
pada dasarnya sebagai sebuah mesin besar yang harus ditafsirkan sebagai materi,
mekanisme atau kekuatan saja.
Alam, bagi orang idealis mempunyai arti dan maksud
yang dianta aspek-aspeknya adalah perkembanagn manusia. Oleh karena itulah
seorang idealis akan berpendapat bahwa, terdapat suatu harmoni yang dalam arti
maksud manusia dengan alam. Apa yang “tertinggi dalam jiwa” juga merupakan
“uang terdalam dalam alam”. Manuisa merasa ada dalam rumahnya dalam alam, ia
bukanlah orang atau makhluk ciptaan nasib, olej karena alam ini adalah suatu
sistem yang logis dan spiritual, dan hal itu tercermin dalam usaha manusia untuk mencari kehidupan yang lebih
baik. Jiwa (self) bukanya satuan yang terasing atau tidak rill, jiwa adalah
bagian yang sebenarnya dari proses alam. Proses ini dalam tingkat yang tinggi
menunjukan dirinya sebagai aktifis, akal, jiwa, atau perorangan. Manuisa
sebagai suatu bagian dari alam menunjukan struktur alam dalam kehidupan
sendiri.
Jenis-jenis
idealisme
Sejarah idealisme cukup berliku-liku dan meluas
karena mencangkup sebagai berbagai teori yang berlainan walaupun berkaitan.
Namun demikian, dalam kesempatan ini akan membahas pembahasan utama, yaitu
idealisme Hogel, kiranya ada baiknya terlebih dahulu sedikit menyinggung idealisme subjetif, idealisme onjektif dan
personalisme, walaupun bhaasan hanya singkat dan sikals saja serta tidak
memberikan kepuasan dari segi pengelompokanya.
1) Idealisme
subjektif – immaterialisme
Idealisme jenis ini kadang-kadang
dikatakan mentalisme dan fenomalisme. Seorang idealis subjektif akan mengatakan
bahwa akal, jiwa dan persepsi-persepsinya, atau ide-idenya merupakan egala yang
ada, akan tetapi ada dalam akal yang mempersepsikanya. Idealisme subjektif ini
diawali oleh Berkeley yang lebih suka
menamai filsafatnya dengan nama
immaterialisme.
2) Idealime
objektif
Filsuf idealis yang perama kali
dikenal adalah Plato. Ia membagi dunia dalam dua bagian, pertama dunia penglihatan, suara dan benda-benda individual. Dunia
yang konkret ini adalah temporal dan rusak, bukan dunia yng sesungguhnya,
melainkan sebagai bayangan alias penampakan saja. Kedua, terdapat alam diatas alam benda, yaitu alam konsep, idea,
universal atau esensi yang abadi.
Kelompok idealis objektivitas
modern berpendapat bahwa semua bagian alam tercangkup dalam suatu tata tertib
yang meliputi segala sesuatu. Mereka pun menisbahkan kesatuan tersebut kepada ide dan maksud dari suatu akal yang mutlak (absolut mind). Hogel
yang akan dibicarakan secara khusus memaparkan satu dari sistem-sistem yang
terbaik dari idealisme monistik atau mutlak (absolute). Pikiran adalah esensi
dari alam, dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobjektifkan.
3) Personalisme
atau idealisme personal
Personaisme muncul sebagi protes
terhadap materialisme mekanik dan idealisme monistik. Bagi seorang personalis,
realits dasar itu bukanlah pemikiran yang bastrak taua proses pemikiran yang
khusus, akan tetapi sesorang, suatu jiwa atau sesorang pemikir.
7.
Positifisme
Posifisme berasal dari kata “positif”. Kata positif
disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang didasarkan fakta-fakta.
Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empris menjadi contoh istimewa dalam
bidang pengetahuan. Kata filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena
itu, pulalah positifisme menolak cabang filsafat metafisik. Menanyakan
“hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat,
hanyalah menyelidikifakta-fakta hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
Tugas khusus filasafat ialah mengordinasikan ilmu-ilmu pengetahuanyang beraneka
ragam coraknya. Tentu saja, maksud positifisme berkaitan erat dengan apa yang
dicita-citakan oleh emprisme. Positifisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya
saja, berbeda dengan empirisme inggris yang menerima pengalaman batiniah atau
subjektif sebagai sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia
hanya mengandalkan fakta-fakta belaka.[3]
8.
Naturalisme
Sebelum kita memasuki pembicaraan tentang
materalisme, terlebih dahulu kita akan lihat naturalisme secar sepintas.
Pembicaraan naturalisme menjadi penting, karena meterialisme merupakan bentuk dari naturalisme. Kata
nature atau alam yang dipakai dalam filsafat bukan hanya terbatas pada alam lautan,
gunung dan kehidupan liar. Akantetapi, tercakup didalamnya alam, astronomi yang
mengcangkup bagian-bagian yang luas dari ruang dan waktu, dari fisika dan
kimia, serta anlisanya yang mugkin bersifat atom atau sub atom. Dalam
perspektif ini, kehidupan manusia mungkin tampak sebagai suatu perincian, akan
tetapi, kata alam tidak merupakan
kebalikan dari manusia, karya-karyanya serta kebudayaan. Alam mencangkup semua
itu dalam suatu sistem fenomena yag satu serta tidak terbagi-bagi.
Naturalisme adalah teori yang menerima natura
sebagai keseluruhan realitas. Sitilah natura telah terpakai dalam filsafat
dengan macam-macam arti, dari dunia fisika yang dapat dilihat oleh manusia,
samapai kepada sistem total dari fenomena-fenomena ruang dan waktu. Natura
adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains dan alam. Istilah
naturalisme adalah sebaiknya istilah supernaturalisme yang mengandung pandangan
dualistik terhadap alam yang adanya kekuatan atau ada (wujud) diatas dan diluar
alam. Materialisme adalah sesuatu istilah yang sempit dan merupakan bentuk
naturalisme yang lebih terbats, materialisme pada umunya ,engatakan bahwa ini
tidak ada selain materi, atau nature (alam), dan dunia fisik adalah satu.
9.
Materialisme
Istilah materialisme dapat diberi definisi dengan
beberapa cara diantaranya. Pertama meterialisme
adalah teori yang mengatakan bahwa atom materi yang berada sendir dan bergerak
merupakan unsur-unsur yang membentuk alam dan bahwa akal dan kesadaran
(conciousness) termasuk didalamnya segala proses pisikal merupakn mode materi
tersebut dan dapat disederhanakan menjadi unsur-unsur fisik. Kedua, bahwa
doktrin alam semesta dapat ditafsirkan seluruhnya dengan sains condong untuk
menyajikan bentuk meterialisme yang lebih tradisional. Pada akhir-akhir ini,
doktrin tersebut dijelaskan sebagai energisme yang mengembalikan segala sesuatu
kepada bentuk energi, atau sebagai suatu bentuk dari positivisme yang memberi
tekana untuk sains dan mengingkari hal-hal seperti ultimate nature of reality (realitas yang paling tinggi).
Meterialisme modern mengatakan bahwa alam (universe)
itu merupakan kesatuan material yang tak terbatas alam, termasuk didalamnya
segala materi dan energi (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan
bahwa alam (world) adalah realitas yang keras , dapat disentuh, material, objektif
yang dapat diketahui oleh manuisa. Materialisme modern mengatakan bahwa materi
itu ada sebelum jiwa (self), dan dunia material adalah yang pertama, sedangkan
pemikiran tentang dunia ini adalah nomor dua. [4]
10. Pragmatisme
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagi benar dengan perantaraan
akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Liran ini bersedia menerima
segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Pengalaman-pengalaman
pribadi, kebenaran mistis semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar
tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat. Dengan demikan,
patokan pragmatisme adalah “manfaat bagi hiup praktis”.
Di
Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat sendiri dengan melekatnya nama
William James sebagai tokohnya, disamping John Dewey. Di Inggris pragmatisme
berhubungan erat dengan nama F.C Schiller. Selain itu dikenal juga nama-nama
lainya, seperti Charles S. Pierce (1839-1914) dan George Herbert Mead
(1863-1931).[5]
11. Esensialisme
Esensialisme merupakan falsafah pendidikan
tradisional yang memandang bahwa nilai-nilai pendidikan hendaknya bertumpu pada
nilai-nilai yang jelas dan tahan lama sehingga menimbulkan kestabilan dan arah
yang jelas pula. Nilai-nilai humanissme yang dipegangi oleh esensialisme di
jadikan sebagai tumpuhan hidup untuk menentang kehidupan yang materialistik
sekuler dan saintifik yang gersang dari nilai-nilai kemanusiaan. Gerakan
esensialisme modern sebenarnya berkembang pada awal abad ke 20, dan muncul
sebagai jawaban atas aliran progrresivisme.
Seperti halnya perenialisme mengambil sikap regressive
road to culture, esensialisme meletakan dasar-dasar pemikiranya pada
kebudayaan dan falsafah yang korelatif setelah timbulnya renaissance. Puncak
refleksi dari gagasan ini paroh kedua dari abad ke-19. Esensialisme pada
mulanya muncul sebagai reaksi terhadap simbiolisme mutlak dan dogmatisme Abad
Pertengahan. Maka, para esensialis menyusun konsepsi secara sistematis dan
menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta yang dapat memenuhi tuntutan zaman
modern.
Dalam hubunganya dengan pendidikan, esensialisme
menekankan dengan pendidikan, esensialime menekankan pada tujuan pewarissan
nilai-nilai kultural-historis kepada peserta didik melalui pendidikan yang
akumulatif dan terbukti dapat bertahan lama setai bernilai untuk diketahui oleh
skill, sikap, dan nilai-nilaiyang tepat, yang merupakan bagian esensial dari
unsur-unsur pendidikan.
Kurikulum dipusatkan pada penguasaan materi
pelajaran (subject-centered), dan karenanya fokus pendidikan selama masa
sekolah dasar adalah keterampilan membaca, menulis, dan berhitung; sementara
pada sekolah menengah hal tersebut diperluas dengan memasukan pelajaran
matematika, sains, humainora, bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap materi
kurikulum ini dianggap sebagai fondasi yang esensial bagi keutuhan pendidikan
secara umum untuk memenuhi kebutuhan hidup. Asumsinya adalah bahwa dengan
pendidikan yang ketat terhadap disiplin ilmu ini akan dapat membantu
mengembangkan intelek siswa dan pada saat yang sama akan menjadikannya sadar
terhadap lingkungan dunia fisiknya. Menguasai dasar konsep dan fakta dari
disiplin ilmu yang esensial merupakan suatu keharusan.
Guru, dalam proses pendidikan, dipandang sebagai
center for exelence, karena dituntut untuk menguasai bidang studi dan sebagai
model atau figur yang amat diteladani bagi siswa. Guru harus menguasai materi
pengetahuannya, sebab mereka dianggap memegang posisi tertinggi dalam
pendidikan. Ruang kelas ada dalam pengaruh dan kendali guru sepenuhnya. Sekolah,
melalui upaya guru, berperan untuk melestarikan dan mentrasmisikan budaya dan
sejarah melalui pengetahuan dan hikmah. Masing-masing pelajar dalam sekolah ini
akan mempelajari ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang
diperlukan untuk membuatnya berjasa bagi masyarakatnya.[6]
12. Perenialisme
Perenialisme mengambil jalan regresif karena
mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan kain kecuali kembali kepada prinsip
umum yanng telah menjadi dasar tingkah laku dan perbuatan zaman Yunani Kuno dan
Abad Pertengahan. Yang dimaksud dengan ini adalah kepercayaan-kepercayaan
aksiomatis mengenai pengetahuan, realitas, dan nilai zaman tersebut.
Perenealisme dapat dikenali dengan mudah karena
memiliki kekhasan, diantaranya adalah: pertama, bahwa perenealisme
mengambil jalan regersif, yaitu kembalikepada nilai dan prinsip dasar yang
menjiwai pendidikan pad masa Yunani Kuno dan Abda Pertengahan. Kedua,
perenialisme beranggapan bahwa realita itu mengandung tujuan; ketiga, perenialisme
beranggapan bahwa belajar adalah latihan dan disiplin mental; dan keempat, perenialisme
beranggapan bahwa kenyataan tertinggi itu berada di balik alam, penuh
kedamaian, dan transendental.
Anteseden munculya perenelisme adalah adanya situasi
sosio-kultural yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Ini menimbulkan suatu kesimpulan bahwa sistem yang ada pada waktu itu harus
dibenahi, dan jalan untuk membenahinya adalah kembali kepada nilai dan prinsip
umum yang adapada masa Yunani Kuno adalh prinsip yang telah dibuat oleh filosof
pada masa tersebut, yaitu antara lain Plato (427-347SM) dan Aristoteles
(483-322SM). Sedagkanyang dimaksud denngan nilai dan prinsip umum pada Abad
Pertengahan adalah nilai dan prinsip yang telah dibuat oleh para filosof masa
tersebut, antara lain Thomas Aquinas (1225-1274M) dna lain-lain, yang telah
terbukti dapat menimbulkan zaman renaisance dan auf klarung atau
pencerahan .
Dengan memerhatikan pengertian dan latar belakang
timbulnya perenialisme tersebut dapat kita pahami bahwa pada dasarnya aliran
ini berasal dari pemikiran orangn-orang Eropa yang bersaha untuk mencari
jawaban akibat banyaknya ketimpangan, kekacauan, kebingungan, serta berbagai
problematika lainnya. Mereka menganggap bahwa ide umum yang terkandung dalam
pemikiran filsuf zaman Yunani Kuno dan Abad Pertengahan itu adalah memiliki
nilai yang ideal dan masih tetap relevan untuk menjawab persoalan masa kini
Dalam hal pendidikan, perenialisme memandang bahwa
tujuan utama pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh dan
merealisasikan kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat
universal dan konstan. Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dan
disiplin mental. Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum yang
berpusat pada materi (content based, subject-centered) dan mengutamakan
disiplin ilmu sastra, matematika, bahasa, humaniora, sejarah, dan lain-lain.[7]
BAB
III
PENUTUP
SIMPULAN
Dalam filsafat pendidikan terdapat 15
aliran-aliran filsafat pendidikan, namun pembahasan yang telah dipaparkan
diatas terdapat 11 aliran-aliran pendidikan, diantaranya ialah:
1. Analitik
2. Progresivsme
3. Eksistensialisme
4. Rekonstruksionisme
5. Empirisme
6. Idealisme
7. Positifisme
8. Naturalisme
9. Materialisme
10. Pragmatism
11. Perenialisme
12. Konferegensi
Dari ke sebelas aliran-aliran filsafat pendidikan,
masing-masih mempunyai penjelasan tersendiri, aliran satu dengan lainnya
tidaklah sama, meskipun ada yang sama, namun hanya ada sedikit kemiripan.
DAFTAR
PUSTAKA
Rapar,
Jan Hendrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius
S.Praja,
Juhaya. 2005. Aliran-aliran filsafat dan
Etika. Jakarta: Kencana
Salahudin,
Anas. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung:
CV Pustaka Setia
[1]
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), hlm. 83
[2]
Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2011), hlm. 83-89
[3]Juhaya S.Praja. Aliran-aliran filsafat dan Etika. (
Jakarta: Kencana. 2005), hlm 126-134
[5]Ibid.,hlm. 171
[6]
Abd. Rachman Assegaf, filsafat pendidikan islam, (jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2011)Hlm.191-192
[7]
Ibid. Hlm. 193-195
0 komentar on "Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan"
Posting Komentar