BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia adalah makhluk yang paling
unik dibandingkan dengan makhluk lainnya, sehingga sangat menarik untuk dikaji.
Disadari
ataupun tidak kita seringkali
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar seperti “apakah tujuan hidup
kita?”. Pertanyaan ini biasanya disebut dengan pertanyaan eksistensial.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada beberapa cara yang dapat ditempuh baik
melalui dogma-dogma agama yang tertuang dalam teks-teks suci kegamaan maupun
melalui metode ilmiah atau biasa kita sebut dengan sains atau kita melakukan
penalaran filsafatis.
Bila kita
mencari jawabannya melalui dogma-dogma agama maka jalan ini tidak akan membawa
pada kepuasan intelektual karena Religions way of knowledge yang seringkali
tidak menggunakan argumentasi yang kritis disamping dominannya klaim kebenaran (truth
claim) apalagi bila kita dihadapkan dengan pluralitas paham keagamaan, maka hal ini
akan membawa kita kepada kebingungan. Sedangkan jika kita melalui jalan sains
maka jawaban yang diperoleh adalah jawaban yang positivistik, alih-alih
mengungkapkan sisi kemanusiaan kita yang dinamis malah yang terjadi adalah
gambaran manusia yang operasionalistik-mekanistik dan ini akan mereduksi
kompleksitas dimensi keberadaan manusia. Untuk mengantisipasi kedua hal di atas
maka kita dapat menggunakan penalaran filsafatis karena filsafat dapat
mengatasi cara berpikir dogmatik dari agama dan cara berpikir positivistik dari
sains, dengan tidak menafikan fungsi dari agama dan sains. Agama dan sains
dapat dijadikan titik pangkal yang kemudian diperluas dan dielaborasi lanjut
dengan pisau filsafat. Walaupun kita menggunakan pisau filsafat ini tidak
berarti bahwa kita secara mutlak telah sampai pada gambaran manusia apa adanya.
Filsafat tidak bertendensi untuk mencari jawaban final tetapi untuk mencari
kemungkinan pertanyaan-pertanyaan baru.
Salah satu
titik pangkal (initial point) dari semua pembahasan filsafat adalah
pengakuannya akan realitas, tergantung pada aliran filsafat yang bersangkutan apakah
realitas yang dimaksud di sini hanyalah realitas material atau juga termasuk
realitas ide, abstrak atau yang immaterial. Tapi di sini kita tidak akan
mempertajam membahas hal tersebut.
Kita mungkin
telah mengetahui apakah secara teoritif ataupun secara intuitif bahwa hal yang
paling mendasar dari segala realitas apakah itu diri kita ataupun benda-benda
yang ada di sekitar kita atau realitas imajinal yang kita beri pengakuan
padanya adalah keberadaan
atau eksisteninya. Keberadaan
adalah fondasi atau prasyarat dari segala hal yang terjadi dalam realitas.
Kalau kita membawanya ke dalam bahasa yang agak religius, keberadaan adalah
limpahan anugerah paling awal yang diterima oleh realitas ini sebelum realitas
tersebut melakukan atau dikenai kejadian apapun.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hakikat
manusia dalam perspektif Islam?
2. Bagaimana
hakikat pendidikan dalam
kehidupan manusia dalam perspektif Islam?
3. Bagaimana
fungsi pendidikan dalam kehidupan manusia dalam perspektif Islam?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan
makalah ini ialah untuk mengetahui:
1. Hakikat manusia dalam perspektif
Islam
2. Hakikat
pendidikan dalam
kehidupan manusia dalam perspektif Islam
3. Fungsi
pendidikan dalam kehidupan manusia dalam perspektif Islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
manusia perspektif Islam
Manusia
merupakan makhluk yang paling unik jika dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Ini disebabkan oleh adanya potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Potensi dan
kemampuan itulah yang mengantarkannya pada kesempurnaan dan kebahagiaan. Diantara
keunikan tersebut ialah sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa tokoh
filsafat, yaitu Socrates mengemukakan bahwa pada diri manusia terpendam jawaban
mengenai berbagai persoalan dunia. Tetapi seringkali manusia itu tidak
menyadari bahwa dalam diri terpendam jawaban-jawaban bagi persoalan yang
dipertanyakannya.[1]
Hakikat manusia menurut al-Qur’an
ialah bahwa manusia itu terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur
ruhani. Ketiga unsur tersebut sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga
konsekuensinya pendidikan harus di desain untuk mengembangkan jasmani, akal,
dan ruhani manusia.
Unsur jasmani merupakan salah satu
esensi ( hakikat ) manusia sebagai mana dijelaskan dalam al-Qur’an surat
al-baqarah ayat 168 yang artinya “ Hai sekalian manusia makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat dari bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syetan karena sesungguhnya syuetan itu adalah musuh yang nyata
bagimu“.
Akal adalah salah satu aspek
terpenting dalam hakikat manusia. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga
hakikat dari manusia itu sendiri adalah ia mempunyai rasa ingin, mempunyai rasa
mampu, dan mempunyai daya piker untuk mengetahui apa yang ada di dunia ini.
Sedangkan aspek ruhani manusia di
jelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hijr ayat 29 yang artinya “ Tatkala aku telah
menyempurnakan kejadiannya, aku tiupkan kedalamnya ruhku.kedalamnya, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “Dalam hal ini muhammad Quthub
menyimpulkan bahwa eksistensi manusia adalah jasmani, akal, dan ruh, yang mana
ketiganya menyusun manusia menjadi satu kesatuan.
Definisi
tentang manusia akan banyak kita jumpai dalam berbagai literatur, terutama pada
kajian filsafat dan antropologi. Dalam bidang Humaniora,
Dr. Alexis Carrel (peletak dasar humaniora barat) mengatakan bahwa manusia
adalah makhluq yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya
berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang
ada di luar dirinya.[2]
Kedudukan manusia di
dunia adalah sebagai khalifah di bumi. Tujuan penciptaan manusia di atas dunia
ini adalah untuk beribadah. Sedangkan tujuan hidup manusia di dunia ini adalah
untuk mendapatkan kesenangan dunia dan ketenangan akhirat. Jadi, manusia di
atas bumi ini adalah sebagai khalifah, yang diciptakan oleh Allah dalam rangka
untuk beribadah kepada-Nya, yang ibadah itu adalah untuk mencapai kesenangan di
dunia dan ketenangan di akhirat.
Khalifah adalah seseorang yang
diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika
manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu
sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu
berada di bumi sebagai khalifatullah.
Di samping peran dan fungsi manusia
sebagai khalifah Allah, ia juga sebagai hamba Allah. Seorang hamba berarti
orang yang taat dan patuh kepada perintah tuannya, Allah SWT. Esensi dari ‘Abd
adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan. Ketaatan, ketundukan dan kepatuhan
manusia itu hanya layak diberikan kepada Allah yang dicerminkan dalam ketaatan,
ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran dan keadilan.
Khalifah adalah seseorang yang
diberi tugas sebagai pelaksana dari tugas-tugas yang telah ditentukan. Jika
manusia sebagai khalifatullah di bumi, maka ia memiliki tugas-tugas tertentu
sesuai dengan tugas-tugas yang telah digariskan oleh Allah selama manusia itu
berada di bumi sebagai khalifatullah.
Jika kita menyadari diri kita
sebagai khalifah Allah, sebenarnya tidak ada satu manusia pun di atas dunia ini
yang tidak mempunyai “kedudukan” ataupun “jabatan”. Jabatan-jabatan lain yang
bersifat keduniaan sebenarnya merupakan penjabaran dari jabatan pokok sebagai
khalifatullah. Jika seseorang menyadari bahwa jabatan keduniawiannya itu
merupakan penjabaran dari jabatannya sebagai khalifatullah, maka tidak ada satu
manusia pun yang akan menyelewengkan jabatannya. Sehingga tidak ada satu
manusia pun yang akan melakukan penyimpangan-penyimpangan selama dia menjabat.
Jabatan manusia sebagai khalifah
adalah amanat Allah. Jabatan-jabatan duniawi, misalkan yang diberikan oleh
atasan kita, ataupun yang diberikan oleh sesama manusia, adalah merupakan
amanah Allah, karena merupakan penjabaran dari khalifatullah. Sebagai
khalifatullah, manusia harus bertindak sebagaimana Allah bertindak kepada semua
makhluknya.
Pada hakikatnya, kita menjadi
khalifatullah secara resmi adalah dimulai pada usia akil baligh sampai kita
dipanggil kembali oleh Allah. Manusia diciptakan oleh Allah di atas dunia ini
adalah untuk beribadah. Lantas, apakah manusia ketika berada di dalam rahim
ibunya tidak menjalankan tugasnya sebagai seorang hamba? Apakah janin yang
berada di dalam rahim itu tidak beribadah?
Pada dasarnya, semua makhluk Allah di atas bumi ini
beribadah menurut kondisinya. Paling tidak, ibadah mereka itu adalah bertasbih
kepada Allah. Disebutkan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah:
Yushabbihu lillahi ma fissamawati
wama fil ardh.
Bebatuan,
pepohonan, gunung, dan sungai misalkan, semuanya beribadah kepada Allah dengan
cara bertasbih. Dalam hal ini, janin yang berada di dalam rahim ibu beribadah
sesuai dengan kondisinya, yaitu dengan cara bertasbih. Ketika Allah akan
meniupkan roh ke dalam janin, maka Allah bertanya dulu kepada janin tersebut.
Allah mengatakan “Aku akan meniupkan roh ke dalam dirimu. Tetapi jawab
dahulu pertanyaan-Ku, baru Aku akan tiupkan roh itu ke dalam dirimu. Apakah
engkau mengakui Aku sebagai Tuhanmu?” Lalu dijawab oleh janin tersebut, “Iya,
aku mengakui Engkau sebagai Tuhanku.”
Dari sejak
awal, ternyata manusia itu sebelum ada rohnya, atau pada saat rohnya akan
ditiupkan, maka Allah menanyakan dahulu apakah si janin mau mengakui-Nya
sebagai Tuhan. Jadi, janin tersebut beribadah menurut kondisinya, yaitu dengan bertasbih
kepada Allah. Tidak ada makhluk Allah satupun yang tidak bertasbih kepada-Nya.
Manusia
mulai melakukan penyimpangan dan pembangkangan terhadap Allah yaitu pada saat
ia berusia akil baligh hingga akhir hayatnya. Tetapi, jika kita ingat fungsi
kita sebagai khalifatullah, maka takkan ada manusia yang melakukan
penyimpangan.
Seperti
itulah penggambaran kedudukan manusia dalam islam, manusia diciptakan sebagai
sesuatu yang sempurna dan sesuatu yang baik, akan menjadi apa saat mereka
menjalani kehidupan ini adalah pilihan mereka sendiri yang akan dipertanggung
jawabkanya di akhirat nanti.[3]
B.
Hakikat Pendidikan dalam kehidupan manusia perspektif
Islam
Pendidikan merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari hidup dan kehidupan manusia.
Pendidikan sebagai salah satu kebutuhan, fungsi
sosial, pencerahan, bimbingan, sarana pertumbuhan yang mempersiapkan dan
membukakan serta membentuk disiplin hidup.
Hal demikian membawa pengertian bahwa bagaimanapun sederhananya
suatu komunitas manusia, ia akan memerlukan adanya pendidikan. Sebab pendidikan
secara alami sudah merupakan kebutuhan hidup manusia.[4]
Pendidikan dapat
diartikan sebagai bimbingan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Oleh
karena itu, pendidikan dipandang sebagai salah satu
aspek yang memiliki peranan pokok dalam
membentuk generasi muda agar memiliki kepribadian yang utama.[5]
Bagi filsafat pendidikan penentuan
sikap dan tanggapan tentang manusia merupakan hal yang amat penting dan vital.
Sebab manusia merupakan unsur terpenting dalam usaha pendidikan. Tanpa
tanggapan dan sikap yang jelas tentang manusia pendidikan akan merasa raba.
Bahkan pendidikan itu sendiri itu
dalam artinya yang paling asas tidak lain adalah usaha yang dicurahkan untuk
menolong manusia menyingkap dan menemukan rahasia alam memupuk bakat dan dan
mengarahkan kecendrungannya demi kebaikan diri dan masyarakat . usaha itu
berakhir dengan berlakunya perubahan yang di kehendaki dari segi social dan
psikologis serta sikap untuk menempuh hidup yang lebih berbahagia dan berarti.
Manusia mengalami proses pendidikan
terus berlangsung sampai mendekati waktu ajalnya. Proses pendidikan adalah life
long education yang dilihat dari segi kehidupan masyarakat dapat dikatakan
ebagai proses yang tanpa akhir.
Bila dipandang dari segi kemampuan
dasar pedagogis, manusia dipandang sebagai “homo edukadum” mahluk yang harus
dididik, atau bisa disebut “animal educabil ” mahluk sebangsa binatang yang
bisa dididik, maka jelaslah bahwa manusia itu sendiri tidak dapat terlepas dari
potensi psikologis yang dimiliknya secara individual berbeda dalam abilitas dan
kapabilitasnya, dari kemampuan individual lainnya. Dengan berbedanya kemampuan
untuk dididk itulah fungsi pendidikan pada hakikatnya adalah melakukan seleksi
melalui proses pendidikan atas pribadi manusia.
Dari segi sosial psikologis manusia
dalam proses pendidikan juga dapat dipandang sebagai mahluk yang sedang tumbuh
dan berkembangdalam proses komonikasi antara individualitasnya dengan orang
lain atau lingkungan sekitar dan proses membawanya kea rah pengembangan
sosialitas dan moralitasnya. Sehingga dalam proses tersebut terjadilah suatu
pertumbuhan atau perkembangan secara dealiktis atau secara interaksional antara
individualitas dan sosialitas serta lingkungan sekitarnya sehingga terbentuklah
suatu proses biologis, sosiologis, dan psikologis.[6]
Kemampuan belajar manusia sangat
berkaitan dengan kemampuan manusia untuk mengetahui dan mengenal terhadap
obyek-obyek pengamatan melalui panca indranya. Membahas kemampuan mengetahui
dan mengenal tidak dapat terlepas dari filsafat dalam bidang epistimologi.
Karena filsfat ini menunjukkan kepada kita betapa dan sejauh mana manusia dapat
mengetahui dan mengenal obyek-obyek pengamatan disekitarnya. Apa pengetahuan
itu, cara mengetahui, dan memperoleh pengetahuan serta berbagai jenis
pengalaman indrawi.
Panca indera manusia adalah
merupakan alat kelengkapan yang dapat membuka kenyataan alam sebagai sumber
pengetahuannya yang memunkinkan dirinya untuk menemukan hakikat kebenaran yang
diajarkan oleh agamanya atau oleh Tuhannya. Panca indera manusia merupakan
pintu gerbang dari pengetahuan yang makin berkembang. Oleh karena itu Allah
mewajibkan panca indera manusia untuk digunakan menggali pengetahuan.
Dalam hal ini islam lebih cenderung
untuk menegaskan bahwa perpaduan antara kemampuan jiwa dan kenyataan materi
sebagai realita merupakan sumber proses “mengetahui” manusia yang keduanya
merupakan “kebenaran”menurut ukuran proses hidup manusiawi bukan Ilahi.
Kebenaran yang hakiki hanyalah Tuhan sendiri, dan kebenaran hakiki inilah yang
menciptakan segala kenyataan alami dan manusiawi dengan diberi mekanisme
hukum-hukumnya sendiri. Bila Ia menghendaki mekanisme itu bisa di rubah menurut
kehendaknya.
Al-Qur’an
memandang bahwa manusia adalah makhluk biologis, psikologis dan sosial. Manusia
sebagai basyar tunduk pada taktir Allah, sama dengan makhluk lainnya. Manusia
sebagai insan dan al-nas bertalian dengan hembusan illahi atau roh Allah yang
memiliki keterbatasan dalam memilih untuk tunduk atau menentang takdir Allah.
Pemikiran tentang hakikat manusia dibahas dalam filsafat manusia. Agaknya,
manusia sendiri tak henti-hentinya memikirkan dirinya sendiri dan mencari jawab
akan apa, dari mana dan mau kemana manusia itu. Pemahaman yang tak utuh tentang
manusia dapat berakibat fatal bagi perl;akuan seseorang terhadap sesamanya,
misalnya saja pandangan bahwa manusia merupakan fase lanjutan dari spesies tertentu
yang mengalami evolusi dan natural selection, akan berimpikasi pada keyakinan
bahwa manusia akan terus berkembang menuju penyempurnaan spesies.
Meskipun Islam
memandang dalam dua dimensi, yakni jasad dan roh atau mateial dan spritual,
lebih dari itu, Islam secara tegas mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
diciptakan oleh Allah, dapat dididik dan mendidik, hamba Allah yang mulia,
berfungsi sebagai pemimpin atau pengelola bumi, dan terakhir dalam keadaan suci
atau memiliki kecendrungan menerima agama atau fitrah. Berbeda dengan binatang
yang Cuma memiliki nafsu dan insting hewani, nafsu yang ada dalam diri manusia
diimbangi dengan potensi akal untuk berfikir dan menimbang apakah sesuatu itu
baik atau buruk, membahayakan atau tidak, sedemikian hingga manusia dapat
mengendalikan hawa nafsunya tadi dan tidak berjerumus pada perbuatan tercela.
Muslim kaffah tidaklah identik dengan superman dan spideman yang ditokohkan
sebagai pahlawan pembela kebenaran dan kekuatan super tak terkalahkan. Gambaran
manusia seperti itu menyesatkan, karena disamping manusia memiliki keistimewaan
juga memiliki kelemahan.
Kesadaran bahwa
manusia hidup didunia sebagai makhluk ciptaan Allah dapat menumbuhkan sikap
andap asor dan mawas diri bahwa dirinya bukanlah tuhan. Oleh sebab itu ia
melihat sesama manusia sebagai sesama makhluk, tidak ada perhambaan
antarmanusia. Jadi, seorang istri tidak menghamba pada suami, dan seorang
rakyat tidak menghamba pada pemerintah. Baginya, yang patut menerima
penghambaan dari manusia tak lain adalah Allah. Justru, Allah tidak menciptakan
manusia selain untuk menghamba atau beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu tidak
berlaku konsep manusia sebagai homo homoni lapas atau manusia sebagai pemangsa
bagi manusia yang lain. Tidak ada keistimewaan antara manusia dengan manusia
yang lain kecuali karena ketaqwaannya kepada Allah. Meskipun demikian,
kelebihan dan kemuliaan manusia tidaklah bersifat babadi, tergantung pada sikap
dan perbuatannya. Jika manusia tersebut berbuat kerusakan dan berakhlak madzmumah,
karunia kemuliaan berupa akal, hati dan panca inderanya tidak dipergunakan
semestinya, maka predikat kemanusiaannya turun ketingkat yang paling rendah,
bahwa lebih rendah dari hewan ternak. Disamping kelebihan, manusia memiliki
aspek kelemahan misalnya kikir, paling banyak membantah, penuh keluh kesah,
memiliki hawa nafsu yang mengajak pada kejahatan, mudah putus asa dan tidak
berterimakasih. Sebagai hamba Allah, manusia memikul tanggung jawab pribadi,
orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan pada hari kiamat
nanti mereka datang kepada Allah dengan sendiri-sendiri. Ini membuktikan bahwa
manusia sebagai hamba Allah itu memiliki kebebasan individual atas dirinya
sendiri namun tetap bertanggung jawab atas segala perbuatanya.
Sebagai khalifah,
manusia muslim dimaksudkan tampil dibumi ini dengan wajahnya yang ramah dan
anggun untuk memimpin, mengelola dan memakmurkan bumi. Bila hal tersebut tidak
dilakukan, maka fungsi khalifah tadi dapat diambil oleh manusia dan golongan
yang lain.[7]
Pada intinya hakekat manusia adalah sebagai
berikut :
a) Makhluk
yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
b) Individu
yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku
intelektual dan sosial.yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif
mampu mengatur dan mengontrol dirinya serta mampu menentukan nasibnya.
c) Makhluk
yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai
(tuntas) selama hidupnya.
d) Individu
yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk
ditempati
e) Suatu
keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan
potensi yang tak terbatas
f) Makhluk
Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan
jahat.
g) Individu
yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia
tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa hidup di
dalam lingkungan sosial.
h) Makhluk
yang berfikir. Berfikir adalah bertanya, bertanya berarti mencari jawaban,
mencari jwaban berarti mencari kebenaran.[8]
C.
Fungsi
pendidikan dalam kehidupan manusia perspektif Islam
Fungsi Dan Peranan
Pendidikan Dalam Kehidupan Manusia
1. Fungsi
Pendidikan Dari Kacamata Barat
Melahirkan
individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kejayaan material dan
profesion sosial yang memberi kesejahteraan kepada diri, industri dan Negara.
2. Fungsi
Pendidikan Menurut Pandangan Islam
Melahirkan
individu-individu yg mencari keredhaan Allah SWT yakni baik, bermoral,
berkualitas dan bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya,
negaranya dan umat manusia di samping mendapatkan kebahagiaan di dunia dan
akhirat
a. Menurut
al Syaibani fungsi pendidikan sebagai berikut:
1) Fungsi
berkaitan dengan individu, mencakupi perubahan pengetahuan, tingkah laku
masyarakat, tingkah laku jasmani dan rohani serta kemampuan-kemampuan yang
harus dimiliki untuk hidup di dunia dan akhirat.
2) Fungsi
yangg berkaitan dengan masyarakat, mencakupi tingkah laku masyarakat, tingkah
laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat dan memperkaya
pengalaman masyarakat.
3) Fungsi
profesional yangg berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu,
sebagai seni, sebagai profesion, seta sebagai kegiatan masyarakat.
b. Menurut
al Abrasyi fungsi pendidikan sebagai berikut:
1) Pembinaan
akhlak.
2) Menyiapkan
anak didik untuk hidup di dunia dan akhirat.
3) Penguasaan
ilmu.
4) Keterampilan
bekerja dalam masyarakat
c. Menurut
Asma Hasan Fahmi fungsi pendidikan sebagai berikut;
1. Tujuan
keagamaan
2. Tujuan
pengembangan akal dan akhlak
3. Tujuan
pengajaran kebudayaan
4. Tujuan
pembicaraan kepribadian
5. Menurut
Munir Mursi fungsi pendidikan adalah;
6. Bahagia
dunia dan akhirat.
7. Menghambakan
diri kepada Allah SWT
8. Memperkuat
ikatan keislaman dan melayani kepentingan masyarakat Islam.
9. Akhlak
mulia.
Peranan Pendidikan
1. Pendidikan
Untuk Mencapai Kemanusian Yang Ideal
Manusia
dalam hidupnya selalu terkait dengan masa lalunya dan sekaligus mengarah ke
masa depan untuk mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian manusia berada dalam
perjalanan hidup, dalam perkembangan dan pengembangan dirinya.Manusia dapat
menjadi manusia hanya melalui pendidikan. Jadi manusia adalah makhluk yang
perlu didik dan mendidik dirinya sendiri.
2. Pendidikan
Untuk Pengembangan Dimensi Kemanusian
Pendidikan
di samping untuk mencapai manusia yang ideal, atau yang dicita-citakan,
pendidikan juga diarahkan untuk pengembangan dimensi kemanusiaan, sehingga
manusia bisa berkembang secara optimal. Pengembangan semua dimensi manusia yang
optimal dan seimbang tentu akan mencapai harkat dan martabat manusia yang
tinggi. Manusia yang seperti ini akan berteman dan bergaul dengan siapa saja,
di mana saja dan dalam pekerjaan apa saja, serta akan mencapai kebahagian hidup
dunia dan akhirat. Karena pendidikan tidak hanya untuk kebutuhan hidup yang
baik di dunia saja, tetapi pendidikan yang meningkatkan derjat keimanan,
ketakwaan, dan peribadatan kepada Tuhan yang Maha Kuasa.
3. Pengembangan
Masyarakat Melalui Pendidikan Secara Sistemik
Pendekatan
sistemik terhadap pengembangan melalui pendidikan adalah pendekatan di mana
masyarakat tradisional sebagai input dan pendidikan sebagai suatu lembaga
pendidikan masyarakat sebagai pelaksana proses pengembangan dan masyarakat yang
dicita-citakan sebagai outputnya yang dicita-citakan. Menurut Ki Hajar
Dewantara ada tiga lingkungan pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Dari
ketetapan MPR No. 1!/MPR/1988 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara kita
mengetahui bahwa pendidikan itu merupakan tanggung jawab bersama antara orang
tua, pemerintah dan masyarakat.
Dari
dua penjelasan tersebut di atas maka bentuk pendidikan dibagi menjadi tiga
bentuk yaitu pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal
(Undang-Undang nomor 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Pelaksanaan
ketiga bentuk pendidikan adalah lembaga pemerintah, lembaga keluarga, lembaga
keagamaan dan lembaga pendidikan lain.
Proses
pendidikan dari tiga bentuk pendidikan itu dipengaruhi oleh sistem politik dan
ekonomi. Dengan adanya bermacam-macam jenis politik dan bermacam-macam
kondisi ekonomi maka arah proses pendidikan akan bermacam-macam untuk
masing-masing bentuk pendidikan yang diselenggarakan oleh keluarga, pemerintah,
lembaga keagamaan dan lembaga-lembaga non-agama.[9]
BAB
III
PENUTUP
SIMPULAN
Hakikat manusia menurut al-Qur’an ialah bahwa manusia itu
terdiri dari unsur jasmani, unsur akal, dan unsur ruhani. Ketiga unsur tersebut
sama pentingnya untuk di kembangkan. Sehingga konsekuensinya pendidikan harus
di desain untuk mengembangkan jasmani, akal, dan ruhani manusia.
Bagi filsafat pendidikan penentuan sikap dan tanggapan
tentang manusia merupakan hal yang amat penting dan vital. Sebab manusia
merupakan unsur terpenting dalam usaha pendidikan. Tanpa tanggapan dan sikap
yang jelas tentang manusia pendidikan akan merasa raba. Manusia mengalami
proses pendidikan terus berlangsung sampai mendekati waktu ajalnya. Proses
pendidikan adalah life long education yang dilihat dari segi kehidupan
masyarakat dapat dikatakan ebagai proses yang tanpa akhir.
Menurut al
Abrasyi fungsi pendidikan ialah Pembinaan akhlak, Menyiapkan anak didik untuk
hidup di dunia dan akhirat, Penguasaan ilmu, dan Keterampilan bekerja dalam
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Miftah Ahmad Fathoni, Miftah. 2001. Pengantar Studi Islam. Semarang:
Gunung Jati
Zuhairini. 1995. Filsafat
Pendidikan Islam, Cet.II. Jakarta:
Bumi Aksara
Tafsir,
Ahmad. 2001. Ilmu Pendidikan
Dalam Perspektif Islam. Bandung: PTRemaja Rosdakarya
Alim,
Muhammad. 2006. Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan
Kepribadian Muslim. Bandung: Remaja Rosdakarya
Zuhairini dan Abdul Ghofir. 2004. Metodologi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Malang; UM Press
Nata,
Abuddin.
2005. Filasafat Pendidikan Islam, Gama Media Pratama: Jakarta
Salam,
Burhanuddin. 1998. Filsafat Manusia (antropologi metafisika). Jakarta:
Bina aksara
http://carakamu.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-kedudukan-manusia-dalam.html
diakses pada: Senin 01 Juni 2015 pukul: 14:43 WIB
http://diporifaldo.blogspot.com/2013/12/makalah-pengantar-pendidikan.html,
diakses pada: Selasa 02 Juni 2015 pukul: 05:34 WIB
[1] Burhanuddin Salam, Filsafat
Manusia (antropologi metafisika), (Jakarta:
Bina aksara, 1998), hal.20
[3] http://carakamu.blogspot.com/2012/04/pengertian-dan-kedudukan-manusia-dalam.html
diakses pada: Senin 01 Juni 2015 pukul: 14:43 WIB
[4]
Muhammad Alim, Pendidikan
Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung;
Remaja Rosdakarya, 2006), hlm 8
[5]
Zuhairini dan
Abdul Ghofir, Metodologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Malang;
UM Press, 2004), hlm. 1
[6]
Ahmad Tafsir., Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya., 2001), hlm 31
[7]
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, ( Jakarta:
Bumi Aksara, 1995), hlm. 71-75
[9]
http://diporifaldo.blogspot.com/2013/12/makalah-pengantar-pendidikan.html, diakses pada: Selasa 02 Juni 2015 pukul:
05:34 WIB
1 komentar on "Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Perspektif Islam"
saya copy ya
Posting Komentar